MEDIA AN NUUR─Sifat wara’ berarti sikap hati-hati dalam menjalani hidup, menjauhi perkara yang syubhat, dan memilih yang jelas halal agar agama serta kehormatan diri tetap terjaga. Bagi pemuda muslim, sifat ini sangat penting di tengah derasnya godaan zaman.
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ... فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara yang samar... Barang siapa menjaga diri dari perkara syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di antara kisah wara’ orang terdahulu dalam menjauhi perkara syubhat dicontohkan oleh Tsabit bin Nu'man yang memakan buah apel yang hanyut di sungai, ia merasa itu bukan haknya dan menyusur sungai mencari pemiliknya.
Lalu ada kisah Mubaraq yang diminta memetikkan buah dari kebun majikannya. Majikan heran karena Mubaraq memetikkan buah yang asam, bukan yang manis. Mubaraq mengaku tak bisa membedakannya karena selama bekerja di kebun, ia tak pernah mencicipi buahnya.
Baik Tsabit bin Nu'man maupun Mubaraq, sangat menjaga kehalalan makanan yang masuk ke perutnya. Kelak mereka memiliki keturunan ulama hebat: Imam Abu Hanifah bin Tsabit dan Imam Abdullah bin Mubaraq.
![]() |
Kajian remaja di Masjid An Nuur Sidowayah |
Lantas, apa relevansi sifat wara’ ini bagi pemuda di zaman sekarang? Ternyata banyak perkara syubhat yang kadang tak kita sadari telah menjerumuskan kita. Maka, memiliki sifat wara’ sudah seharusnya membentuk karakter pemuda muslim.
Pertama, wara’ menjaga diri dari godaan digital dan media sosial. Banyak konten yang samar hukumnya, mulai dari tontonan yang melalaikan hingga berita bohong yang menyesatkan. Pemuda yang memiliki sifat wara’ akan selektif, hanya mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang merusak iman, sehingga waktu dan pikirannya tetap terjaga.
Kedua, wara’ membuat pemuda lebih hati-hati dalam pergaulan. Di era globalisasi, batas halal-haram dalam hubungan sering diabaikan. Dengan wara’, pemuda muslim bisa menghindari pergaulan bebas, menolak ajakan teman menuju keburukan, dan memilih sahabat yang mendekatkan dirinya kepada Allah.
Ketiga, wara’ menjadi fondasi integritas dalam pendidikan dan karier. Banyak pelajar dan pekerja tergoda menempuh jalan pintas seperti menyontek, plagiat, atau bekerja dengan cara yang haram. Pemuda yang wara’ akan berpegang pada kejujuran dan hanya mencari rezeki yang halal, meskipun harus bersabar dalam proses.
Keempat, wara’ menguatkan mental di tengah budaya konsumtif. Pemuda yang wara’ tidak mudah silau pada tren dan gaya hidup berlebihan. Ia bijak dalam berbelanja, menghindari pemborosan, serta berani berkata cukup meski lingkungannya mendorong untuk boros. Dengan begitu, ia tumbuh sebagai pribadi yang sederhana dan qana’ah.
Kelima, wara’ menjadikan pemuda teladan bagi lingkungannya. Keteguhan sikapnya dalam menjaga diri akan menginspirasi orang lain. Ia tidak hanya selamat untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi cahaya yang menuntun teman dan masyarakat menuju kebaikan.
Sebagai penutup, sifat wara’ adalah perisai yang melindungi pemuda muslim dari berbagai fitnah zaman. Dengan wara’, mereka mampu menjaga iman, memperkuat karakter, serta menjadi generasi yang diridai Allah.
Kajian remaja di Masjid An Nuur Sidowayah pada Ahad, 31 Agustus 2025 bakda Salat Isya, pemateri Bapak Wakhid Syamsudin (Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Weru)