MEDIA AN NUUR─Keberuntungan seseorang bukan berada pada banyaknya nikmat yang diterima, tetapi pada bagaimana caranya ia menyikapi nikmat itu. Keberuntungan itu adalah ketika ia bisa syukur atas nikmat yang Allah berikan itu.
Kondisi ekonomi saat ini yang banyak orang menyebut sedang tidak baik-baik saja membuat sebagian besar kita kehilangan rasa syukur. Padahal, masih banyak nikmat Allah yang lain, yang kadang kita mengabaikannya.
Syukur dan Sabar Ala Ibrahim bin Adham
Ibrahim bin Adham adalah seorang ulama dan sufi besar yang berasal dari Balkh (sekarang wilayah Afghanistan). Dahulu ia seorang raja yang hidup dalam kemewahan, yang kemudian meninggalkan tahtanya demi mencari keridhaan Allah dan hidup sebagai zahid (orang yang menjauhi kemewahan dunia).
Suatu hari, ia ditanya tentang keadaannya. Ia menjawab dengan tenang, “Jika aku diberi, aku bersyukur. Jika tidak diberi, aku bersabar. Jika aku lapar, aku memuji Allah. Jika aku kenyang, aku pun memuji Allah.” Baginya, syukur dan sabar adalah dua sikap utama seorang hamba.
![]() |
Ustaz Didik Efendi mengajak meneladani ulama dalam menyikapi rezeki dengan syukur |
Suatu hari, Ibrahim bin Adham sedang duduk sambil menyantap roti kering. Tiba-tiba datang seekor anjing liar yang tampaknya lapar. Ibrahim pun melemparkan sepotong kecil roti ke arah anjing itu. Anehnya, anjing itu hanya mencium roti tersebut sebentar, lalu pergi meninggalkannya tanpa memakannya.
Ibrahim bin Adham terdiam sejenak, lalu menangis. Ia berkata, “Subhanallah... seekor anjing saja tidak rakus terhadap dunia. Ia mencium rezeki, namun saat tahu itu bukan untuknya, ia pergi tanpa memaksakan diri. Sedangkan aku, sering kali tamak dan tidak sabar bila rezeki belum datang.”
Rezeki yang Berkah bagi Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah, selain seorang ulama besar dan pendiri mazhab Hanafi, juga dikenal sebagai pedagang kain yang sukses dan sangat jujur. Suatu hari, ia menjual sejumlah kain kepada seorang pembeli grosir.
Di antara kain-kain itu, ada satu potong kain yang memiliki cacat kecil. Imam Abu Hanifah sudah mewanti-wanti kepada karyawan yang mengurus penjualan agar memberitahu si pembeli tentang cacat kain tersebut.
Namun setelah transaksi selesai, Imam Abu Hanifah bertanya, “Apakah engkau sudah menyampaikan kepada pembeli tentang cacat kain itu?” Sang pegawai menjawab, “Saya lupa, wahai Imam.”
Mendengar itu, Imam Abu Hanifah langsung merasa sangat bersalah dan gelisah. Ia pun menyumbangkan seluruh hasil penjualan kain hari itu kepada fakir miskin, karena takut ada bagian dari harta yang tidak halal tercampur di dalamnya. Baginya, kejujuran dan keberkahan lebih penting daripada keuntungan.
Imam Ahmad bin Hanbal Bersemangat Saat Diuji Kesulitan
Imam Ahmad bin Hanbal dikenal bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena kesabaran dan keyakinannya yang kuat terhadap janji Allah. Suatu hari, beliau membaca dan merenungkan ayat dalam surat Al-Insyirah: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)
Dengan pemahaman mendalam terhadap bahasa Arab, Imam Ahmad menjelaskan bahwa dalam ayat ini, kata "al-‘usr" (kesulitan) menggunakan bentuk definitif (alif-lam), menandakan satu kesulitan yang sama.
Sedangkan kata "yusr" (kemudahan) disebut dua kali dalam bentuk nakirah (tanpa alif-lam), yang berarti dua kemudahan yang berbeda. Maka beliau pun berkata dengan penuh yakin: “Satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan.”
Karena keyakinan itu, Imam Ahmad justru merasa semangat dan optimis ketika datang sebuah ujian atau kesulitan. Ia berkata, “Jika aku melihat kesulitan datang, aku yakin bahwa dua kemudahan sedang menyusul. Maka bagaimana mungkin aku bersedih?”
Orang yang yakin dengan janji Allah tidak akan takut menghadapi ujian hidup. Bagi Imam Ahmad, setiap kesulitan adalah tanda bahwa kemudahan sedang dalam perjalanan. Ini menjadi penguat hati bagi siapa pun yang sedang diuji: bersabarlah, karena Allah telah menjamin dua pintu kemudahan untuk satu pintu kesulitan.
Kisah-kisah di atas mengajarkan bahwa kekuatan seorang hamba terletak pada sikap hati: sabar saat sulit, bersyukur saat lapang, jujur dalam setiap urusan, dan tidak terikat pada dunia meski memilikinya. Inilah kunci ketenangan dan kekayaan sejati dalam pandangan iman.
Kajian Subuh Berjemaah di Masjid Al Hidayah, Sangen, Krajan, Weru pada hari Ahad, 3 Agustus 2025, bersama Ustaz H. Didik Efendi, S.T., ketua MUI Kecamatan Weru