NqpdMaBaMqp7NWxdLWR6LWtbNmMkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Salat

MEDIA AN NUUR─Cinta seorang hamba kepada Allah tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan, tetapi harus dibuktikan dengan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad ﷺ. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

Ayat ini menunjukkan bahwa bukti nyata cinta kepada Allah adalah dengan meneladani Nabi dalam ibadah, akhlak, dan seluruh aspek kehidupan. Dengan meneladani beliau, seorang hamba akan mendapatkan kasih sayang Allah serta ampunan-Nya.

Kitab HPT
Kajian HPT Muhammadiyah bersama Ustaz Muhammad Saifudin

Salah satu bentuk keteladanan Nabi yang paling utama adalah menjaga salat. Kewajiban salat begitu agung, hingga Allah tetap mewajibkannya dalam keadaan sulit sekalipun. Dalam kondisi perang, di mana jiwa terancam, salat tidak boleh ditinggalkan. Allah berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu sebagaimana mestinya. Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).

Ayat ini menegaskan bahwa salat tidak bisa ditawar, bahkan ketika seorang mukmin menghadapi peperangan. Jika dalam kondisi genting saja salat tetap diwajibkan, apalagi dalam keadaan tenang, tentu lebih utama lagi untuk tidak pernah meninggalkannya.

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari)

Rasulullah menegaskan bahwa tata cara salat tidak boleh dibuat-buat atau ditambah-tambahi, tetapi harus sesuai dengan contoh yang diwariskan oleh Nabi. Setiap gerakan, bacaan, dan ketertiban dalam salat merupakan bentuk ketaatan sekaligus wujud cinta seorang mukmin kepada Allah dengan meneladani Rasul-Nya.

Perbedaan bacaan dalam salat yang kita temukan di kalangan umat Islam sesungguhnya bukan sesuatu yang kontradiktif, melainkan bagian dari keluasan syariat. Hal itu terjadi karena para sahabat melihat Rasulullah ﷺ salat di berbagai tempat dan suasana.

Sesekali Nabi menggunakan bacaan tertentu, lain waktu menggunakan bacaan yang berbeda. Semua riwayat itu dicatat oleh para sahabat, sehingga muncullah variasi bacaan yang tetap sahih dan sesuai tuntunan beliau.

Dengan demikian, adanya perbedaan bacaan bukanlah tanda perselisihan. Selama bacaan itu bersumber dari Rasulullah ﷺ dan diriwayatkan secara sahih, semuanya boleh diamalkan. Hal ini justru menjadi kekayaan umat, karena memberi keleluasaan bagi seorang muslim dalam menunaikan salatnya, tanpa terikat hanya pada satu bacaan saja.

Sebelum turun perintah salat lima waktu, Rasulullah ﷺ terlebih dahulu diperintahkan untuk melaksanakan salat malam. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ۝ نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا ۝ أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sedikit (darinya). (yaitu) separuhnya atau kurangilah sedikit dari separuh itu, atau lebih dari separuh itu. Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 1–4).

Perintah ini menjadi fase awal pembinaan Nabi Muhammad ﷺ agar beliau memiliki kekuatan ruhani dan kedekatan dengan Allah. Setelah itu barulah Allah menetapkan kewajiban salat lima waktu dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.

Berikut ini beberapa putusan tentang salat menurut HPT Muhammadiyah:

  1. Keringanan karena uzur: Jika tidak mampu berdiri, boleh salat sambil duduk, berbaring, atau dengan isyarat sesuai kemampuan; namun jika masih sanggup berdiri sebentar, salat wajib diawali dengan berdiri.
  2. Niat: Dilakukan di dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram, tanpa dilafazkan, karena inti niat adalah kesadaran hati untuk melaksanakan salat tertentu karena Allah.
  3. Takbiratul ihram: Mengucapkan “Allahu akbar” sambil mengangkat tangan; saat itu dalam hati sudah berniat salat tertentu. Jadi niat tidak dilafazkan.
  4. Doa iftitah: Hukumnya sunnah, boleh dibaca atau ditinggalkan; tidak terikat pada satu teks tertentu karena Nabi ﷺ mencontohkan beberapa versi doa iftitah yang sahih.
  5. Ta‘awwudz: Setelah doa iftitah, wajib membaca ta‘awwudz sebelum Al-Fatihah dengan suara lirih/dalam hati.
  6. Basmalah: dibaca sebelum Al-Fatihah, boleh jahr (dikeraskan) atau sirr (dilirihkan), dan dalam praktik Muhammadiyah umumnya dibaca sirr.
  7. Membaca Al-Fatihah: Imam wajib membacanya, sementara bacaan imam sudah mencukupi bacaan makmum sehingga makmum tidak perlu membaca lagi, cukup mendengarkan bacaan imam.
  8. Aamiin: Setelah selesai membaca Al-Fatihah, imam dan makmum sama-sama dianjurkan membaca aamiin; pada salat jahr dibaca keras, pada salat sirr dibaca lirih, dan sebaiknya bersamaan dengan imam.
  9. Sujud: Dilakukan dengan menempelkan tujuh anggota badan, yaitu dahi (beserta hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung jari kedua kaki; meninggalkan salah satunya tanpa uzur membuat sujud tidak sempurna.

Kajian Malam Sabtu KMM PCM Weru bersama Ustaz H. Muhammad Saifudin, Lc., M.Ag. (Mudir Ponpes Modern Muhammadiyah Sangen) mengkaji Kitab HPT bab Salat. Gedung Dakwah Muhammadiyah Weru, 22 Agustus 2025.

Share This Article :
Wakhid Syamsudin

Berusaha menjadi orang bermanfaat pada sesama melalui tulisan. Saat ini mengelola blog Media An Nuur (www.media-annuur.com), Bicara Cara (www.bicaracara.my.id), dan blog pribadi (www.syamsa.my.id)

2907636960708278822