NqpdMaBaMqp7NWxdLWR6LWtbNmMkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Menjaga Diri dari Perkara Syubhat

MEDIA AN NUUR─Niat adalah fondasi awal dalam setiap langkah kehidupan, terlebih bagi santri yang menuntut ilmu di pesantren. Niat yang lurus dan ikhlas karena Allah menjadi pijakan utama yang akan membimbing hati dan langkah agar tetap dalam kebaikan, meski berada jauh dari rumah dan keluarga.

Namun, niat saja tak cukup tanpa istikamah. Santri dituntut untuk terus berpegang teguh pada sunah, meskipun tantangan kian berat dan fitnah semakin tajam. Keteguhan hati dan kesabaran menjadi bekal penting agar cahaya ilmu tak padam, dan perjuangan tetap berada di jalan yang diridai Allah.

Ust Amirul Hikam, S.Pd.I.
Ustaz Amirul Hikam mengajak menjauhi perkara syubhat

Niat yang benar karena Allah, kemudian istikamah mengikuti sunah meski banyak fitnah, dilanjutkan dengan menjauhi perkara yang syubhat atau samar-samar. Berada di antara halal dan haram sehingga membuat ragu bagi sebagian umat Islam, padahal harus ditinggalkan.

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa menjaga diri dari perkara yang syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barang siapa jatuh dalam perkara syubhat, maka ia bisa jatuh ke dalam perkara haram, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar area terlarang, hampir saja ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja memiliki larangan (kawasan terlarang), dan ketahuilah, larangan Allah adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging; jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jebakan Perkara Syubhat

Hadis tersebut adalah hadis keenam dari Arbain Nawawi. Rasulullah Saw., menjelaskan bahwa perkara dalam hidup ini terbagi menjadi tiga: yang halal jelas, yang haram pun jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat.

Syubhat yaitu hal-hal yang samar hukumnya, tidak diketahui dengan pasti apakah ia halal atau haram. Perkara syubhat ini sering kali membuat seseorang ragu dan bingung, sebab tidak semua orang memiliki ilmu yang cukup untuk membedakannya.

Barang siapa meninggalkan perkara syubhat, maka sejatinya ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Ia tidak bermain-main di wilayah abu-abu yang bisa menjerumuskannya pada dosa.

Sikap hati-hati ini merupakan cermin ketakwaan dan kehormatan pribadi seorang muslim. Ia memilih selamat daripada mengambil risiko yang bisa mencoreng agamanya atau menjatuhkan harga dirinya di hadapan Allah dan manusia.

Sebaliknya, siapa yang sering terjebak dalam perkara syubhat tanpa rasa takut dan tanpa upaya menjauhinya, maka dikhawatirkan ia akan tergelincir ke dalam perbuatan haram. Rasulullah Saw., menggambarkan seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar wilayah terlarang.

Oleh karena itu, kita semua hendaknya menjaga diri dari perkara syubhat sebagai bentuk ikhtiar untuk menjaga kebersihan hati. Karena dalam lanjutan hadis ini, Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa dalam tubuh manusia ada segumpal daging, yaitu hati.

Jika hati itu baik, maka seluruh tubuh akan baik, namun jika hati itu rusak, maka rusak pula seluruh amal dan perilaku manusia. Menjauhi perkara syubhat adalah salah satu cara menjaga hati agar tetap bersih dan terhindar dari kerusakan.

Imam Syafi’i Dijaga Sang Ibu dari Perkara Syubhat

Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab besar dalam Islam, tumbuh menjadi ulama agung yang ilmunya tersebar luas hingga hari ini. Ketakwaannya, kejernihan akalnya, dan kekuatan hafalannya tidak lepas dari penjagaan keluarganya terhadap perkara halal dan haram sejak beliau masih kecil.

Dikisahkan, ketika Imam Syafi’i masih bayi, suatu saat ada tetangga yang menyusuinya tanpa seizin ibunya. Mengetahui hal itu, ibunya segera mengambil tindakan. Ia memasukkan jarinya ke dalam mulut sang bayi hingga bayi itu muntah dan mengeluarkan kembali air susu tersebut.

Hal itu dilakukan semata-mata sebagai bentuk kehati-hatian terhadap apa yang masuk ke perut anaknya, agar tidak tercampur sesuatu yang syubhat atau tidak jelas kehalalannya. Dari sinilah kita belajar, bahwa penjagaan terhadap perkara halal dan haram, memiliki dampak besar dalam membentuk pribadi yang bertakwa dan diberkahi oleh Allah.

Kisah Mubaroq yang Tak Tahu Buah yang Manis

Salah satu kisah teladan tentang kehati-hatian dalam menjaga halal-haram juga tampak dalam kisah Mubaroq, seorang hamba saleh yang hidup pada masa dahulu dan dikenal sebagai ayah dari Imam Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar.

Suatu hari, majikan Mubaroq memintanya untuk memetikkan buah dari kebun milik sang majikan. Namun ketika buah itu dicicipi, ternyata rasanya asam dan tidak manis. Majikannya pun bertanya, “Kenapa engkau petikkan buah yang asam?”

Mubaroq menjawab dengan jujur bahwa ia tidak tahu mana yang manis dan mana yang asam, karena selama ia bekerja di kebun itu, ia tidak pernah sekalipun mencicipi buah dari pohon-pohon tersebut.

Jawaban itu membuat sang majikan takjub dengan kejujuran dan wara’ (kehati-hatian) Mubaroq. Ia benar-benar menjaga agar tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, meskipun itu sebutir buah di tempat ia bekerja.

Kisah ini menjadi pelajaran berharga bahwa sikap menjaga diri dari yang bukan hak, bahkan dalam perkara kecil, adalah tanda keimanan dan ketakwaan yang dalam kepada Allah. Dari ketulusan hati seperti inilah, Allah memberi keberkahan dalam keturunan dan ilmu, sebagaimana yang terlihat pada anaknya kelak, Imam Abdullah bin Mubarak.

Pemuda yang Memakan Buah Hanyut

Dalam sejarah orang-orang saleh, terdapat kisah mengagumkan tentang seorang pemuda yang sangat berhati-hati terhadap hak orang lain, bahkan terhadap sesuatu yang tampak sepele. Suatu hari, pemuda ini duduk di tepi sungai. Tiba-tiba, hanyut sebuah buah yang dibawa arus air. Karena merasa lapar, ia pun mengambil buah itu dan memakannya.

Namun tak lama setelah itu, ia tersadar bahwa buah tersebut bukan miliknya. Hatinya gelisah, karena ia telah memakan sesuatu yang tidak ia ketahui asal-usulnya. Dengan penuh penyesalan dan tekad untuk menebusnya, ia pun menyusuri sungai, berjalan melawan arus, berusaha mencari dari mana buah itu berasal.

Akhirnya, ia menemukan sebuah kebun yang letaknya di pinggir sungai, tempat kemungkinan buah itu jatuh dan terbawa arus. Ia pun mendatangi pemilik kebun tersebut dan menceritakan apa yang terjadi. Ia meminta keikhlasan dari pemiliknya atas buah yang telah ia makan.

Kisah ini menunjukkan betapa besar rasa takut dan tanggung jawab pemuda itu terhadap perkara yang bukan haknya. Ia tak mau satu gigitan buah pun masuk ke tubuhnya tanpa ridha pemiliknya. Sikap seperti inilah yang melahirkan keberkahan dalam hidup dan menjadi teladan agung tentang kejujuran dan wara’.

Gadis Pemerah Susu yang Tak Mau Mencampur dengan Air

Salah satu kisah keteladanan yang sangat menginspirasi terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Kala itu, banyak orang yang menjual susu dengan cara mencampurkannya dengan air demi meraih keuntungan lebih. Perbuatan ini dianggap biasa oleh sebagian besar pedagang, bahkan dianggap lumrah dalam praktik pasar saat itu.

Namun, berbeda dengan seorang gadis pemerah susu yang tinggal bersama ibunya. Suatu malam, sang ibu menyuruhnya mencampur susu dengan air agar hasil jualannya lebih banyak. Gadis itu pun menolak dengan tegas.

Ia berkata, “Ibu, Amirul Mukminin telah melarang perbuatan ini.” Sang ibu menanggapi, “Umar tidak melihat kita.” Tapi gadis itu menjawab dengan penuh iman, “Kalau Umar tidak melihat kita, Allah melihat kita.”

Jawaban itu menggambarkan tingkat kejujuran dan rasa takut kepada Allah yang begitu tinggi dalam diri gadis tersebut. Ia tidak hanya menjauhi perbuatan curang karena takut pada manusia, tetapi karena kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi.

Kisah ini begitu menyentuh hati Khalifah Umar ketika ia mendengarnya, hingga kemudian gadis itu dijodohkan dengan putranya, dan dari keturunan mereka lahirlah Umar bin Abdul Aziz, khalifah agung yang dikenal adil dan zuhud. Semua itu bermula dari akhlak dan keteguhan iman seorang gadis yang menjunjung tinggi nilai kejujuran karena Allah.

Agar Ilmu Berkah, Santri Pesantren Harus Menjaga Diri dari Syubhat

Kisah-kisah keteladanan dari para tokoh saleh menunjukkan betapa pentingnya menjaga kehalalan dalam setiap hal, bahkan dalam perkara kecil sekalipun. Ketika seorang pemuda menyusuri sungai hanya untuk meminta keikhlasan atas buah yang tidak sengaja dimakan, atau ketika gadis pemerah susu menolak mencampur air ke dalam susu karena yakin Allah melihat, itu semua mengajarkan kepada kita bahwa kejujuran dan kehati-hatian adalah wujud nyata dari iman.

Nilai ini sangat relevan bagi para santri di pesantren, yang hidup bersama dalam satu lingkungan dan sering dihadapkan pada godaan untuk menggunakan barang milik teman tanpa izin, atau bersikap abai terhadap hak orang lain.

Jika seorang santri terbiasa meremehkan penggunaan barang tanpa meminjam, atau menganggap wajar ketika ada barang yang hilang, maka lama-lama hatinya akan tumpul terhadap dosa dan kezaliman kecil.

Padahal, menjaga kejujuran dalam hal sekecil apapun adalah latihan keimanan yang akan membentuk akhlak mulia dan keberkahan dalam ilmu. Maka, hendaknya para santri menjadikan kisah-kisah teladan tersebut sebagai cermin dalam kehidupan sehari-hari di pesantren.

Pengajian Ahad Pagi di Masjid Al Hidayah Sangen bersama Ustaz Amirul Hikam, S.Pd.I. (Wakil Ketua Korps Mubaligh Muhammadiyah PCM Cawas)

Share This Article :
Wakhid Syamsudin

Berusaha menjadi orang bermanfaat pada sesama melalui tulisan. Saat ini mengelola blog Media An Nuur (www.media-annuur.com), Bicara Cara (www.bicaracara.my.id), dan blog pribadi (www.syamsa.my.id)

2907636960708278822