MEDIA AN NUUR─Setelah manusia meninggal dunia, ia tidak langsung masuk ke alam akhirat, tetapi akan melewati satu fase kehidupan yang disebut alam kubur atau alam barzakh. Di alam ini, setiap orang akan menghadapi berbagai kondisi sesuai dengan amal perbuatannya semasa hidup.
Sebagian manusia sudah mulai merasakan siksa di alam kubur. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam hadis Nabi Muhammad Saw., yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah Saw., pernah melewati dua kuburan lalu bersabda:
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
“Sesungguhnya keduanya sedang disiksa. Dan keduanya tidak disiksa karena perkara yang besar menurut anggapan manusia. Adapun yang satu, dahulu tidak menjaga diri dari air kencingnya, dan yang satu lagi biasa mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penyebab Siksa Kubur
Hadis ini mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menjaga kesucian dari najis (khususnya air kencing) serta menjauhi perbuatan namimah (mengadu domba), karena keduanya termasuk sebab utama datangnya siksa di alam kubur.
Tidak Bersuci dari Najis Air Kencing
Banyak orang menganggap tidak bersuci dari air kencing sebagai hal sepele, padahal justru itu bisa menjadi penyebab utama siksa kubur. Rasulullah Saw., mengajarkan untuk sangat hati-hati dalam urusan bersuci, terutama saat membuang hajat.
Adab saat buang hajat di antaranya adalah menjaga aurat dengan tidak buang air di tempat terbuka atau sembarangan, sesuai dengan teladan Nabi Saw., yang bersembunyi saat buang hajat.
![]() |
Ustaz Arif Fahrudin mengingatkan tentang siksa kubur |
Adab yang Rasul ajarkan kemudian adalah tidak buang air di pinggir jalan atau tempat umum tanpa membersihkan diri, karena itu bisa mengganggu orang lain dan meninggalkan najis yang membahayakan diri sendiri.
Untuk menghindari dari azab kubur maka wajib memastikan tidak ada najis yang tersisa, baik di tubuh maupun pakaian. Bersuci harus dilakukan dengan air yang mengalir dan bersih, sampai benar-benar suci.
Para ulama menegaskan bahwa jika seseorang masih dalam keadaan terkena najis, maka salat dan ibadah lainnya tidak akan diterima, karena syarat sah ibadah adalah suci dari hadas dan najis.
Perbuatan Mengadu Domba (Namimah)
Adapun terkait namimah (mengadu domba), ini adalah tindakan setan untuk menebar permusuhan di antara manusia. Mengadu domba sering dilakukan dengan cara menyampaikan ucapan seseorang kepada orang lain dengan maksud memecah hubungan dan menimbulkan kebencian.
Setan juga mengarahkan manusia kepada khamer, judi, dan maksiat lain agar mereka saling membenci. Ketika dua orang berselisih lalu enggan saling memaafkan, maka setan masuk di antara mereka, menghembuskan permusuhan yang berlarut-larut.
Khianat terhadap Harta Titipan (Ghulul)
Siksa kubur juga bisa menimpa orang yang berkhianat terhadap amanah harta, yang dalam istilah sebagian ulama disebut dengan ghulul. Ini terjadi ketika seseorang mengambil atau menggunakan harta titipan, barang pinjaman, atau harta yang dipercayakan kepadanya tanpa izin atau secara tidak jujur.
![]() |
Warga Sidowayah ikuti kajian Subuh |
Rasulullah Saw., pernah bersabda mengenai seorang syahid yang gugur di medan perang, namun tidak selamat dari siksa kubur karena mengkhianati harta rampasan perang:
إِنَّ شِمْلَةً سَرَقَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا
“Sesungguhnya sehelai selendang yang ia curi pada hari Khaibar sebelum harta rampasan dibagikan, kelak akan menjadi api yang menyala baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah ini menunjukkan bahwa pengkhianatan terhadap harta yang dipercayakan, meski hanya satu helai kain, bisa menjadi sebab siksa yang sangat pedih. Terlebih jika harta itu berasal dari amanah, sedekah, wakaf, atau bahkan milik umum.
Dalam kehidupan sehari-hari, bentuk ghulul bisa terjadi ketika: pegawai menggunakan fasilitas atau dana kantor untuk kepentingan pribadi tanpa izin, panitia kegiatan menyelewengkan dana infak atau sumbangan, atau seseorang meminjam barang lalu merusaknya tanpa tanggung jawab.
Semua bentuk ini menunjukkan bahwa kejujuran dan amanah dalam urusan harta adalah hal yang sangat ditekankan dalam Islam, dan kelalaian dalam hal ini bukan hanya merugikan manusia, tapi juga membawa akibat di alam kubur.
Utang yang Tidak Dilunasi
Di antara sebab lain seseorang mengalami siksa kubur adalah karena meninggal dunia dalam keadaan memiliki utang yang belum dilunasi, padahal ia mampu atau lalai dalam menyelesaikannya.
Utang dalam Islam adalah urusan yang sangat serius. Bahkan disebutkan dalam hadis bahwa ruh seseorang bisa tergantung (tertahan) karena utangnya, sampai utang tersebut dilunasi:
نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Ruh seorang mukmin itu tergantung karena utangnya sampai utangnya itu dilunasi.” (HR. Tirmidzi)
Rasulullah Saw., bahkan pernah tidak menyalatkan jenazah yang masih memiliki utang dan belum dilunasi oleh keluarganya, sampai ada yang bersedia menanggungnya.
![]() |
Sarapan kare bersama |
Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak utang, terutama bila seseorang meremehkannya, tidak berikhtiar melunasi, atau malah menggunakan utang secara zalim dan tanpa tanggung jawab.
Oleh karena itu, jangan berutang kecuali dalam keadaan darurat atau kebutuhan yang jelas. Jika terpaksa berutang, niatkan sungguh-sungguh untuk melunasi. Bila wafat dalam keadaan berutang, sebaiknya keluarga segera melunasi dari harta warisan, agar tidak menjadi beban di alam kubur.
Materi Kajian Gerakan Subuh Berjamaah di Masjid An Nuur Sidowayah pada Jumat, 27 Juni 2025 bersama Ustaz Arif Fahrudin, S.Pd.I (pengasuh Ponpes Modern Muhammadiyah Sangen, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PCM Weru)