NqpdMaBaMqp7NWxdLWR6LWtbNmMkyCYhADAsx6J=

MASIGNCLEANLITE104

Hati yang Menerima Kebenaran

MEDIA AN NUUR─Berhati-hatilah dengan hawa nafsu yang mendominasi, karena ia akan menolak kebenaran. Ketika hati telah tertutup oleh kesombongan, maka ajakan menuju jalan yang lurus akan dianggap remeh atau bahkan diabaikan.

Begitu pula kaum kafir saat Rasulullah Saw., menyampaikan wahyu Allah Swt. Mereka menyombongkan diri ketika diajak mengesakan-Nya, bahkan mencap beliau sebagai penyair gila demi mempertahankan keyakinan sesat mereka.

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ ۝ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ ۝ 

Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah,’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami hanya karena (perkataan) seorang penyair gila?’” (QS. As-Safat: 35–36)

Ust Fauzan
Ustaz Fauzan menyampaikan bahwa orang yang dipenuhi hawa nafsu akan sulit menerima kebenaran

Kebenaran itu tidak semua orang bisa menerima. Ada hati yang lapang dan terbuka sehingga menerimanya dengan senang, ada hati yang ragu-ragu sehingga hanya menyimpannya tanpa mengamalkan, dan ada pula hati yang menolaknya mentah-mentah.

Sikap manusia terhadap kebenaran dipengaruhi oleh kemurnian hati dan kesediaan untuk tunduk. Selama hati dikuasai kesombongan atau hawa nafsu, sebaik dan sejelas apa pun kebenaran disampaikan, ia tetap akan ditolak.

مَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ المَاءَ فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا مِنْهَا، وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ

Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah seperti hujan yang turun ke bumi. Sebagian darinya adalah tanah yang baik, yang menyerap air dan menumbuhkan banyak tanaman dan rumput. Sebagian lagi adalah tanah yang keras, yang menahan air, sehingga Allah memberi manfaat darinya kepada manusia: mereka minum, memberi minum ternak, dan menyirami tanaman. Dan sebagian lagi adalah tanah datar yang tidak menahan air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan mendapatkan manfaat dari apa yang Allah utuskan bersamaku, lalu ia belajar dan mengajarkan, serta perumpamaan orang yang tidak menoleh sedikit pun kepada hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis permisalan hujan di atas, ada tiga golongan manusia dalam menyikapi petunjuk dan ilmu dari Nabi, jadi ibarat tanah menerima guyuran hujan, berbeda kondisinya.

Pertama, golongan yang menerima dan mengamalkan kebenaran. Diumpamakan seperti tanah subur yang menyerap air, lalu menumbuhkan berbagai tanaman. Inilah orang-orang yang hatinya terbuka untuk menerima petunjuk Allah, memahami agama-Nya, mengamalkan ilmunya, dan menyebarkannya kepada orang lain. Mereka mendapatkan manfaat bagi dirinya dan memberikan manfaat bagi banyak orang.

Kedua, golongan yang menerima tetapi tidak mengamalkan secara penuh. Diumpamakan seperti tanah keras yang tidak menumbuhkan tanaman, namun mampu menahan air sehingga dimanfaatkan oleh orang lain. Mereka adalah orang-orang yang menyimpan ilmu atau petunjuk, menyampaikannya kepada yang lain, tetapi dirinya sendiri tidak sepenuhnya mengambil manfaat. Perannya tetap penting, meski tidak optimal.

Ketiga, golongan yang menolak kebenaran. Diumpamakan seperti tanah tandus yang tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan apa pun. Mereka menutup diri dari petunjuk Allah dan tidak memberi manfaat sedikit pun bagi dirinya atau orang lain. Sikap ini biasanya lahir dari kesombongan, kebodohan, atau kerasnya hati.

Jamaah Subuh
Jamaah Subuh Masjid An Nuur Sidowayah

Muslim hendaknya menyerahkan segala amalnya hanya kepada Allah, dengan niat yang ikhlas dan tidak mengharap balasan selain dari-Nya. Segala bentuk ibadah, baik yang kecil maupun besar, harus diarahkan untuk mencari ridha-Nya semata.

Selain itu, seorang Muslim wajib tunduk pada perintah Allah dan mengikuti syariat-Nya dengan penuh kepatuhan. Hal ini mencakup melaksanakan semua kewajiban, menjauhi larangan, serta menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan.

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”

Sarapan
Sarapan bersama setelah kajian Subuh

Hawa nafsu yang sering mendorong manusia pada keinginan pribadi harus diarahkan dan dikendalikan agar selaras dengan syariat. Inilah tanda keimanan yang benar, ketika seseorang tidak hanya mengikuti kebenaran karena terpaksa atau kebiasaan, tetapi karena keyakinan, cinta, dan kerelaan hati yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya.

Materi Kajian Gerakan Subuh Berjamaah di Masjid An Nuur Sidowayah pada Jumat, 15 Agustus 2025 bersama Ustaz Fauzan Abu Darda (asatiz Ma’had Ittiba’us Sunnah Tawang, Weru)

Share This Article :
Wakhid Syamsudin

Berusaha menjadi orang bermanfaat pada sesama melalui tulisan. Saat ini mengelola blog Media An Nuur (www.media-annuur.com), Bicara Cara (www.bicaracara.my.id), dan blog pribadi (www.syamsa.my.id)

2907636960708278822