NqpdMaBaMqp7NWxdLWR6LWtbNmMkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANLITE104

Belajar Patuh pada Ibu dari Kisah Uwais Al Qarni dan Sa’ad bin Abi Waqash

MEDIA AN NUUR─Ibu adalah orang yang paling berjasa pada kita. Melahirkan dan membesarkan dalam kepayahan. Sudah selayaknya sebagai anak, kita patuh dan taat kepadanya. Sudah sepatutnya kita berbakti kepada ibu kita.

Kisah Uwais Al Qarni
Pak Wakhid bercerita tentang ketaatan pada ibu

Mari kita simak 2 buah cerita tentang kepatuhan pada ibu. Yang pertama adalah kisah Uwais Al Qarni dan yang kedua adalah kisah Sa’ad bin Abi Waqash. Semoga cerita ini menginspirasi kita dan mendapat ibrah dari penggalan episode kehidupan tersebut. Berikut ini cerita selengkapnya.

Kisah Uwais Al Qarni: Cukup Ridamu, Ibu

“Uwais,” panggil perempuan tua yang lumpuh itu kepada anak laki-lakinya.

Anak muda itu berpenyakit sopak, yang membuat tubuhnya menjadi belang-belang. Cacat yang membuatnya tak dihiraukan orang. Ia mendekati sang ibu yang memanggilnya. “Iya, Ibu. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

“Anakku, aku tidak tahu berapa lama lagi hidup di dunia ini. Tapi ada satu hal yang sangat kuinginkan,” katanya lemah sambil menatap wajah Uwais.

“Apa, Ibu? Katakan, aku pasti melaksanakan perintahmu,” kata Uwais tanpa keraguan.

“Ibu ingin berhaji, Nak.”

Uwais tertegun. Berhaji? Ke Mekah? Dari Yaman, tempatnya tinggal bersama sang ibu, harus melewati padang tandus yang panas untuk sampai ke Mekah. Biasanya orang berhaji menaiki unta dan membawa banyak bekal. Tapi Uwais dan ibunya tidak punya apapun. Kemiskinannya membuat hal itu sangat sulit dilaksanakan. Tapi Uwais tak pernah sekalipun mengecewakan sang ibu perihal permintaannya.

Uwais kebingungan. Ia membawa uang tak seberapa ke pasar hewan. Di sana ia bertanya-tanya harga seekor unta. Tak cukup uangnya. Hanya sekor anak lembu kecil yang berhasil ia beli.

Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap hari ia membawa lembu kecilnya naik-turun bukit. Tapi tidak dengan menuntunnya, melainkan dengan menggendongnya. Dan itu dilakukan setiap hari.

“Uwais, kau gila? Untuk apa anak lembu kau gendong setiap hari? Kurang kerjaan kau ini!” begitu para tetangga mengomentari kelakuannya. Hanya senyuman untuk menjawabnya. Uwais tidak peduli kata-kata mereka.

Delapan bulan berlalu dan lembu itu jadi cukup besar dan berat, tapi Uwais tak pernah berhenti menggendongnya setiap pagi dan sore.

“Ibu, musim haji sudah hampir tiba,” kata Uwais di dekat ibunya yang terbaring lemah.

“Untuk apa kau mengingatkan hal itu, Uwais. Kau mau membuatku sedih?”

“Tidak, Ibu. Mana mungkin aku berani begitu.”

“Lalu apa maksudmu?”

Uwais menghela napas sejenak. “Aku akan menggendongmu ke Mekah, Ibu. Ke Baitullah untuk berhaji.”

Sang ibu memandang anak laki-lakinya itu. “Tidak mungkin, Uwais. Mekah jauh dan jalan ke sana melewati gurun tandus...”

“Yakinlah, Ibu. Aku kuat. Kau lihat lembuku yang sebesar itu, tiap hari aku menggendongnya. Aku tidak merasa berat, Bu. Allah memberikanku kekuatan. Mari, Ibu. Uwais akan mewujudkan mimpi Ibu berhaji.”

Sang ibu masih terperangah tidak percaya. Tapi Uwais sudah menyiapkan bekal seperlunya. Dan ia sudah siap membawa sang ibu ke Mekah dengan menggendongnya.

Atas kehendak Allah, Uwais berhasil membawa ibunya ke Mekah. Seluruh tata cara dan rukun haji dilakukan dalam gendongan sang anak. Bercucuran tangis sang ibu sepanjang berhaji.

“Ya, Allah... ampunilah dosa Ibu,” doa Uwais tiada henti.

“Uwais, kau hanya memintakan ampun dosaku? Bagaimana denganmu?” tegur sang ibu.

“Ketika Allah mengampuni dosamu, maka surga untukmu, Ibu,” jawab Uwais.

“Dan kau?”

“Cukup ridamu, Ibu. Itu yang akan membawaku ke surga...,” jawab Uwais tulus.

Sang ibu kembali bercucuran air mata. Erat dipeluknya sang anak. “Ibu rida... Ibu rida padamu, anakku....”

(Dikisahkan kembali oleh Wakhid Syamsudin, pernah diposting di blog pribadi)

Kisah Sa’ad bin Abi Waqash: Bukan Niatku Membunuhmu, Ibu

Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah tidak menjumpai putranya, Sa’ad, di ruang tengah, di halaman, bahkan di kandang unta. Ia pun menuju ke kamar Sa’ad.

Sesampai di depan kamar Sa’ad, perempuan paruh baya yang masih terlihat sisa kecantikannya di masa muda ini hendak mendorong daun pintu yang biasanya tidak pernah dikunci oleh sang anak. Tapi dorongannya terhenti. Pintu tidak terbuka. Hamnah tertegun, tidak biasanya Saad mengunci pintu kamarnya.

“Sa’ad, Sa’ad.... Apakah engkau di dalam, Nak?” tanya perempuan bangsawan Quraisy ini. Mencoba memastikan anak laki-lakinya itu ada di dalam atau tidak.

Sebelum ada jawaban dari kamar Sa’ad, rasa penasaran perempuan ini menyeruak saat dilihatnya ada lubang kecil pada pintu yang bisa ia gunakan untuk mengintip ke dalam. Hamnah berhasil melihat ruangan kamar putranya.

Perempuan bangsawan Quraisy ini tersentak saat melihat apa yang dilakukan Sa’ad di dalam kamar. Mendadak ia gemetaran. Secepatnya pintu digedornya dengan keras. “Sa’ad, buka pintunya. Cepat!”

Tidak berapa lama kemudian pintu terkuak. Pemuda 17 tahun berwajah tampan itu agak terkejut karena sang ibu mengetuk pintu kamarnya sedemikian kasar. “Ada apa, Ibu?” tanyanya lekas.

“Apa yang kau lakukan di kamar? Mengapa kau sengaja mengunci pintunya? Jawab dengan jujur, Sa’ad!” cerca Hamnah dengan luapan kemarahan.

Sa’ad merasakan ada yang tidak beres. Pastilah ibunya tahu apa yang sedang dilakukannya di kamar. Tapi dia mencoba menjawab dengan tenang, “Sa’ad tidak melakukan apa-apa, Ibu.”

“Sudah, Sa’ad. Tidak perlu kau menutup-nutupi apapun. Ibu melihat apa yang kau perbuat di dalam. Kau katakan saja apa yang kau lakukan!”

Sa’ad tidak pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya. Segera ia menjawab, “Maafkan saya, Ibu. Saya melaksanakan salat....”

Bergetar tubuh Hamnah. “Kau mengikuti ajaran sesat Muhammad?!”

“Maafkan saya, Ibu. Saya menemukan kebenaran pada ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad. Saya meyakininya dan sudah memeluk Islam.”

Kejujuran Sa’ad membuat sang ibu terguncang. Hamnah jatuh sakit. Betapa kecewanya dia pada Sa’ad. Putra yang sangat dikasihinya, disayang-sayang sejak kecil. Kini pemuda itu mengakui telah masuk agama baru yang dibawa Muhammad.

Sa’ad membawakan makan untuk ibunya yang terbaring lemah di kamar. “Ibu, mari saya suapi. Ibu harus makan agar segera sembuh.”

“Aku tidak akan makan apa pun, Sa’ad. Kecuali kau kembali padaku. Tinggalkan ajaran Muhammad!” suara Hamnah bergetar. Lebih baik mati dari pada melihat Sa’ad mengingkari ajaran nenek moyangnya.

Demikianlah, sejak tahu keislaman Sa’ad, Hamnah mogok makan sebagai bentuk protesnya. Sa’ad terpukul sekali dengan sikap sang ibu. Selama ini, ia adalah anak berbakti. Ibunya adalah orang yang paling dekat dengannya. Yang paling mengerti dan memahaminya. Tapi tidak untuk soal keislamannya.

Semakin hari keadaan Hamnah semakin parah. Seluruh keluarganya sangat mengkhawatirkan kondisinya yang kian lemah. Sa’ad benar-benar diuji dengan keadaan ini.

“Makanlah, Ibu. Jangan lagi seperti ini,” kesekian kali Sa’ad membujuk.

“Aku begini karenamu, Sa’ad. Apakah kau benar-benar tega membunuhku seperti ini?” desis Hamnah.

“Tidak ada niat seperti itu, Ibu. Saya sangat menyayangi Ibu.”

“Omong kosong. Bahkan kau lebih sayang kepada Muhammad. Malang benar nasibku. Aku akan mati karena kebodohanmu.”

“Ibu. Engkau tahu betapa Sa’ad sangat menyayangimu. Tapi untuk keyakinan saya, tidak ada yang bisa menggoyahkan. Maafkan saya, Ibu. Sekalipun Ibu memiliki 100 nyawa, lalu satu per satu nyawa itu keluar, itu tidak akan pernah bisa memaksa saya meninggalkan Islam, Ibu.”

Kata-kata Sa’ad begitu tegas. Ibunya menangis. Ia benar-benar telah kehilangan Sa’ad. Hamnah akhirnya menyerah. Ia telah gagal memaksa sang anak kembali kepada ajaran nenek moyangnya. Akhirnya suapan makanan Sa’ad diterimanya.

(Dikisahkan kembali oleh Wakhid Syamsudin, pernah diposting di blog pribadi)

Kajian remaja
Remaja yang hadir pada kajian kali ini

Demikianlah kisah Uwais dan Sa’ad yang berhubungan dengan ketaatan kepada ibu. Dari kedua kisah di atas bisa kita ambil ibrah, bahwa ketaatan pada ibu berada di bawah ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Semoga bisa menjadi renungan bersama.

Ringkasan kajian remaja di Masjid An Nuur Sidowayah, pada hari Ahad, 18 Juni 2023 bakda Salat Isya, yang disampaikan oleh Wakhid Syamsudin.

Share This Article :
Wakhid Syamsudin

Berusaha menjadi orang bermanfaat pada sesama melalui tulisan. Saat ini mengelola blog Media An Nuur (www.media-annuur.com), Bicara Cara (www.bicaracara.my.id), dan blog pribadi (www.syamsa.my.id)

2907636960708278822